Merdeka Sepenuhnya — Ngaji Filsafat

Tiara Nuraish
4 min readAug 16, 2024

--

Saya di sebelah kiri, Pak Fahruddin Faiz, dan Mbak Luluk teman baru

Ngaji Filsafat dengan tajuk “Tan Malaka: Merdeka 100%” akan tercatat dalam sejarah hidup saya sebagai pertemuan paling bermakna. Maka akan saya ceritakan kasih Allah yang menurut saya benar-benar habis-habisan mengguncang arah hidup saya.

Beberapa minggu kemarin, saya sering menangis, mengurung diri, dan menjadi pribadi yang benar-benar buruk. Self management saya benar-benar berantakan, saya hilang arah, harapan utopis yang menggerayangi keterlanjuran pilihan saya seolah-olah tidak pantas saya petik nantinya. Saya sadar akan itu, tetapi untuk melepas dampak sistemik dari problem sistemik, kompleks, dan struktural yang telah mengakar bertahun-tahun itu, sangat sulit, sangat.

Kesadaran saya memuncak pada keinginan untuk tetap menangis lagi, tetapi ingin saya muntahkan seluruhnya ke penjaga mental di rumah sakit jiwa sana. Rak-rak dalam bufet hati saya seluruhnya kosong akan kebahagiaan batin, benar-benar kosong. Saya seolah memiliki beban moral yang menjerembabkan puing-puing jiwa yang bahkan telah berantakan. Saya hanyalah bukti empiris paling semu yang bahkan tak jelas kelahirannya, rusak proses hidupnya, mati keinginannya. Tiap saya mencoba untuk melakukan revolusi, mental saya terlalu remah-remah hingga emosi saya membuncah, pecah.

Pak Faiz pernah mengatakan, cita-cita itu ada dua, duniawi dan akhirat. Kau tahu, kenapa tulisan saya tadi itu jika dibaca secara objektif terkesan makhluk paling menyedihkan di bumi, saya rasa cita-cita akhirat untuk bertemu Pencipta bersama keluarga adalah sebuah kebolehan. Namun, proses menuju itulah masalah yang masih saya cari solusinya. Maka hal-hal yang sebelumnya saya ceritakan itu, kau pasti sudah tahu alasannya karena sudah saya paparkan simplifikasinya.

Wah, hahaha, sekarang sekali saya menulis ini dalam kondisi sadar dan sudah tercerahkan oleh renaissance Pak Fahruddin Faiz, astaga, malu sendiri, ampun.

Baik, akan saya kupas wawasan yang saya tahu malam itu di sebuah masjid Yogyakarta yang pengikutnya ini, ampun, luber seisi masjid. Saya memang memantapkan niat untuk bertemu Pak Faiz secara langsung, kereta melaju seolah tak sabar ingin melemparkan saya ke forum pencerahan di Kota Pelajar itu.

Ah, saya telah sampai di halaman utama Masjid Jendral Soedirman itu, tampak bangunan dengan layer hijau yang terbilang cukup teduh dipenuhi mobil-mobil yang terparkir di jalanan dekat, waduh, ini, beneran mahasiswa semua? Oke, saya lekas melepas senyum dengan gojek yang juga mendukung kemerdekaan batin saya untuk bertemu dengan materi “Tan Malaka: Merdeka 100%”. Sejujurnya yang ingin saya temui malam itu bukanlah ceramah biografi Tan Malaka seperti perkiraan saya, saya ingin curhat aja, saya belum merdeka.

Halo, Mbak, mau ke kajian, ya? Wah, boleh bareng, nggak, Mbak?

Salah satu list yang saya buat untuk memerdekakan diri saya adalah berkenalan dengan teman baru di lokasi kejadian, hahaha, ini langkah saya menjadi merdeka, tauk

Oke, dan, what, ternyata perempuan yang saya ajak kenalan itu, calon psikolog yang baru saja lulus S2 di kampus kerakyatan. Astaga, Allah, jangan kebut-kebutan kalau ngasih rahmat, saya, kan, jadi malu, salting.

Kami berbincang sejak adegan menuang kopi susu, wah, ternyata ada minumnya, toh, Masha Allah, hingga adegan koda yang tumpah di tawaran konsultasi istimewa. Duh, saya rasa Tuhan benar-benar meyakinkan saya bahwa hidup saya selalu dipegang erat-erat.

Aduh kelamaan ya orientasinya, maaf, saya tidak akan melupakan momen-momen detik-detik revolusi hidup saya, hahaha revolusi, ga tuh.

List berikutnya adalah curhat ke Pak Faiz, saya batalkan. Kenapa? Bukankah itu waktunya saya menangis sejadi-jadinya, menceritakan kisah hidup yang bagi saya sebelumnya sangat tragis. Ternyata sebelum saya berniat ingin curhat, Pak Faiz melalui Allah, sudah tahu isi hati saya dan apa yang saya butuhkan. Sungguh, saya ingin curhat, tuh, karena ekspektasi saya pada materi Tan Malaka yang gagasannya Merdeka 100% itu akan dikupas melalui perspektif biografinya saja oleh Pak Faiz, dan jelas gagasannya juga. Namun, duar, memang dosen, tuh, mau dalam kondisi apa saja, pasti apa yang dibincangkan perlu pakai dasar teori. Pecah, saya seolah dapat mata kuliah yang bahkan nggak tahu berapa SKS karena terlalu mengubah pandangan saya menatap masa depan.

Saya di sini tidak akan membahas gagasan Merdeka 100% Tan Malaka yang dijabarkan secara jelas oleh Pak Faiz. Namun, orientasi dasar teori menjadi merdeka itu sendiri yang membuat saya terus berbenah dan mengetahui diri saya.

Sebelum mengusahakan sesuatu untuk skala universal, hendaklah dalam partikel terkecilnya perlu tindakan pengusahaan itu sendiri. Saya rasa gagasan ad hominem pun sah-sah saja jika kelak ada entitas lain ingin beropini pada hidup saya. Apa itu hal terkecilnya? Jiwa kita sendiri. Semua perlu dimulai dari diri kita terlebih dahulu.

Jiwa yang mendeka memiliki empat pilar besar yang perlu dikuatkan sebelum sepenuhnya mengaku sebagai mahkluk merdeka.

  1. Self Awareness, aku itu siapa, ciriku bagaimana, bakatku apa, kenali diri kita hingga skala universal.
  2. Self Respect, jiwa yang menghargai dirinya sendiri biar kata kekurangan lebih dominan, kita bisa mengakar kalau kita self respect.
  3. Self Reliance, mandiri yaitu bisa bersandar pada diri sendiri, sejauh mana kamu tau diri dan menghormati dirimu menentukan kemerdekaanmu.
  4. Self Confident, yakin dan percaya diri.

Sebetulnya korelasi antara teori yang terkesan simpel ini dengan saya tidak severtikal itu, tetapi ini saja nukilan yang dapat saya sampaikan dari pelbagai keluasan ilmu malam itu, dalam perjalanan menjadi manusia yang lebih baik, bertemu dengan orang-orang berpengalaman, berwawasan, adalah jalan utama dari definisi menjaga situasi positif untuk sebuah konsistensi.

Selamat merdeka Indonesia. Selamat merdeka untuk jiwa saya.

Bismillah.

Sindiran Pak Faiz

--

--