UBI, IBUKU MANA?

Tiara Nuraish
2 min readMay 4, 2024

--

Tiara Nuraish

Menyimak “Tragedi Winka Sihka” karya Sutardji Calzoum Bachri beberapa minggu lalu membuka alam pemahamanku seputar kesastraan. Menarik, ingin kupacari mantra-mantra Sutardji. Puisi “UBI, IBUKU MANA?” menjadi puisi dengan durasi pembuatan tersingkat sepanjang masa, hematku. Malam-malam sekali, sekitar pukul 11 menjelang tenggat pengumpulan sayembara puisi untuk Hari Puisi Nasional LPM Kentingan UNS, aku diminta menjadi kontributor, kalau-kalau nanti jeblos bisa dipamerin di Instagram saluran.sebelas, namanya sayembara, kan.

Aku lupa sedang melakukan apa saat itu, ide tiada menyambangi.

Tok… tok… tok…

Ada yang memintaku membuka pintu kamar kos, wanginya nekat masuk melalui celah jendela nako yang selurus posisi tubuhku. Aku masih menunggu ide, lancang sekali. Merinding. Siapa? wanginya mirip. Ah. Mana mungkin. Ini kos khusus perempuan. Nyegrak banget nih wanginya, ada campuran aroma enjambemen dan nonsensikal. Beranjak kubuka batas antara kami. HAH. Bapak. Bapak Sutardji. Sutardji Calzoum Bachri. Bentar, Pak. Ini jam berapa, aduh, 22:37, celaka, PUISI BELUM JADI.

Mbak. Pria yang wujudnya tinggi sekali ini mencegahku menggarap sayembara.

Ibumu, kangen.

Apa katanya.

Ibu, kangen? IBU… KANGEN… AKU?

Bukankah ini sajak yang selalu aku ingin dengar, jelas. Ibu penyair, puisi-puisi miliknya selama ini ku apresiasi. Amarah, kecewa, sedih, dan segala kesakitan Ibu telah ungkapkan. Namun, sajak ini tak pernah ditulis Ibu. Brutal, Ibu benar-benar frontal meliarkan jiwanya.

Bahwa sayembara ini tiada artinya.

Bahwa dipertontonkan di saluran.sebelas bukanlah puncak keinginan.

Ibu, maaf aku sampaikan kepadamu melalui karya ini. Kemudian nantinya diriku telah lepas sebab karyaku menjadi milik pembaca. Melalui interpretasi atau apresiasi sastra metode apapun, engkau abadi, Ibu.

--

--